Takut kepada Allah: Kisah Nyata dari Negeri Seberang (02)

Loading...
Seketika itu wajah sopir taksi yang ditumpanginya berubah menjadi ketakutan. Pada saat meneruskan perjalanan, tidak henti-hentinya sopir tersebut berkata,”Lindungilah! .. Lindungilah! ..” Santri tersebut bertanya,”Engkau bicara dengan siapa?


Kisah Nyata dari Negeri Seberang

Syaikh Shalih Alu Syaikh hafidzahullah bercerita tentang pengalaman salah seorang santri ketika berada di Mesir. Pada suatu ketika, santri tersebut naik taksi di kota Qantha, suatu kota yang terkenal di Mesir karena di situ terdapat makam seorang wali bernama Sayyid Badawi. Bagi masyarakat Qantha, Badawi adalah wali yang diagung-agungkan, dan mereka pun memberi sifat kepada Badawi dengan sifat-sifat yang hanya berhak dimiliki oleh Allah Ta’ala.

Di tengah perjalanan, ada seorang anak kecil yang meminta sedekah. Santri tersebut kemudian memberinya sejumlah uang. Anak kecil tersebut kemudian bersumpah atas nama Badawi agar diberi uang yang lebih banyak lagi. Karena termasuk adat di kota Qantha, apabila ada yang bersumpah dengan menyebut Badawi seperti anak kecil itu, maka tidak ada yang berani menolaknya. Mereka takut tidak menunaikan hak Sayyid Badawi.

Santri tersebut -yang tentunya paham tauhid- berkata,”Kembalikan uang yang aku beri tadi. Karena Engkau bersumpah dengan Badawi, maka aku tidak akan memberimu sedikit pun. Karena bersumpah dengan selain Allah termasuk syirik.” Anak itu menyangka bahwa ia akan diberi tambahan uang, namun ternyata justru uangnya yang diminta kembali.

Seketika itu wajah sopir taksi yang ditumpanginya berubah menjadi ketakutan. Pada saat meneruskan perjalanan, tidak henti-hentinya sopir tersebut berkata,”Lindungilah! .. Lindungilah! ..” Santri tersebut bertanya,”Engkau bicara dengan siapa?” Sopir menjawab,”Engkau telah menghina Badawi. Aku mendoakanmu agar kita mendapatkan perlindungan. Jika tidak, maka kita akan mendapat musibah. Badawi akan menimpakan musibah kepada kita, karena kita telah menghinanya.”

Dia sangat ketakutan. Hal itu terlihat di sepanjang perjalanan yang mencapai lebih dari 100 kilometer, dia tidak henti-hentinya berkata,“Lindungilah!” Ketika sudah sampai di tujuan dengan selamat, maka santri tersebut memandang sopir taksi dan berkata,”Mana sesuatu yang kamu takutkan, bahwa sesembahanmu itu akan berbuat ini dan itu?” Maka dengan santainya si sopir menjawab,”Pada asalnya, Sayyid Badawi itu orang yang penyayang.” [1]

Demikianlah kondisi orang-orang musyrik, dalam hatinya tertanam rasa takut kepada sesembahan-sesembahannya, rasa takut yang selayaknya hanya ditujukan kepada Allah Ta’ala semata. Jelaslah bagi kita bahwa para penyembah kubur wali sangat takut apabila tidak menunaikan hak sesembahannya itu atau bahkan menghinanya, maka dia akan tertimpa sesuatu. Semoga Allah Ta’ala melindungi kita dari itu semua.

Khauf  yang Tercela dan Khauf Thobi’i

khauf yang tercela (khauf madzmum) adalah seseorang meninggalkan perintah Allah, misalnya amar ma’ruh nahi munkar dan berdakwah kepada-Nya, karena takut orang lain akan menyakitinya atau mencelakainya. Ini adalah khauf  yang hukumnya haram, dan merupakan salah satu bentuk syirik kecil.

Adapun yang dimaksud dengan khauf thabi’i adalah rasa takut yang wajar, dan tidak sampai menyebabkan seseorang mendekatkan diri (beribadah) kepada sesuatu yang ditakuti atau sampai meninggalkan kewajiban. khauf ini hukum asalnya adalah mubah (tidak mengapa). Misalnya takut kepada musuh, binatang buas, api, dan sejenisnya. Sebagaimana firman Allah Ta’ala ketika bercerita tentang Musa,

فَخَرَجَ مِنْهَا خَائِفًا يَتَرَقَّبُ قَالَ رَبِّ نَجِّنِي مِنَ الْقَوْمِ الظَّالِمِينَ

”Maka keluarlah Musa dari kota itu dengan rasa takut yang menunggu-nunggu. Dengan khawatir, dia berdoa,’Ya Tuhanku, selamatkanlah aku dari orang-orang yang zalim itu.’” (QS. Al Qashash [28]: 21) [2]

Akan tetapi, jika khauf thabi’i ini sampai menyebabkan seseorang meninggalkan kewajiban atau mengerjakan sesuatu yang haram, maka hukumnya menjadi haram. Misalnya seseorang merasa takut terhadap sesuatu, padahal sesuatu itu sebenarnya tidak membahayakan dirinya, dan rasa takutnya itu menyebabkan dia meninggalkan shalat berjamaah, padahal hukumnya wajib. Maka rasa takut seperti ini hukumnya haram.

Contoh lain, jika ada seseorang mengancam untuk melakukan hal yang haram, dan dia takut kalau tidak melaksanakannya, maka khauf seperti ini hukumnya juga haram. Karena takutnya itu menyebabkan dirinya mengerjakan hal yang haram tanpa udzur. Selain itu, ada yang disebut dengan waham, dan bukan khauf. Misalnya seseorang melihat bayangan pohon yang bergerak di waktu malam, lalu dia menyangka bahwa itu adalah musuh atau hantu yang akan mencelakakannya. Tidak sepantasnya seorang mukmin memiliki perasaan semacam ini, dan hendaknya dia membuangnya jauh-jauh. [3]

Demikianlah sedikit pembahasan tentang khauf  kepada Allah, semoga bermanfaat bagi kita semua. Kita berdoa kepada Allah Ta’ala agar memberikan taufik dan hidayah-Nya kepada kita sehingga kita dapat menjadi hamba-Nya yang bersih tauhidnya dan jauh dari kesyirikan. Dan semoga shalawat dan salam senantiasa tercurah kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga beliau, para sahabat, dan orang-orang yang mengikuti mereka. Amiin. [Selesai]

Disempurnakan ba’da subuh, Rotterdam NL 17 Rajab 1438/14 April 2017

Yang senantiasa membutuhkan rahmat dan ampunan Rabb-nya,

Penulis: M. Saifudin Hakim
Artikel: Muslim.or.id

Catatan kaki:

[1] Lihat Syarh Kitab Tsalatsatul Ushuul hal. 33, karya Syaikh Shalih Alu Syaikh.
[2] Lihat I’anatul Mustafiid II/48; Al-Irsyad ila Shahihil I’tiqaad, hal. 55-56, keduanya karya Syaikh Shalih Al-Fauzan.
[3] Lihat Al-Qaulul Mufiid II/17, karya Syaikh Ibnu ‘Utsaimin.
Loading...
CopyAMP code

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Takut kepada Allah: Kisah Nyata dari Negeri Seberang (02)"

Posting Komentar